HABIT AND ATTITUDE
Motivation…. or
Habits?
Motivasi
Berada dalam lingkungan orang orang yang suka belajar dan peduli dengan pengembangan potensi diri selalu saja memberikan pengalaman yang sangat menarik, karena banyak sekali hal positif yang bisa dipelajari.
Berada dalam lingkungan orang orang yang suka belajar dan peduli dengan pengembangan potensi diri selalu saja memberikan pengalaman yang sangat menarik, karena banyak sekali hal positif yang bisa dipelajari.
Saya akan
gambarkan dengan cerita ini: ada seseorang, katakanlah namanya “Polan”, dan
Polan ini dari dulu sudah suka sekali dengan topik yang berhubungan dengan
motivasi, Polan banyak sekali membaca buku-buku tentang motivasi dan bahkan
Polan sering sekali mengikuti seminar motivasi yang bagus-bagus.
Pada suatu
hari, Polan mengeluh kenapa selama ini susah sekali mempertahankan kondisi
termotivasi dalam jangka waktu lama, terutama ketika Polan harus mengerjakan
sebuah tugas yang membutuhkan konsistensi dan ketekunan dalam jangka waktu yang
lama.
Memang benar
selama ini buku dan seminar motivasi bisa memberikan Polan semangat yang
menggebu-gebu pada awalnya, namun kondisi ini hanya bertahan beberapa minggu
bahkan terkadang hanya beberapa hari saja, untuk mengatasi rasa malas dan bosan
yang mulai muncul dan supaya bisa tetap konsisten pada tugasnya, biasanya Polan
harus mengikuti lagi seminar motivasi yang berikutnya… dan berikutnya… dan
berikutnya…!!!
Apakah Anda
juga memiliki pengalaman yang sama? Mungkin saja Anda sekarang juga akan
berkata dalam hati, “Itu dia kendala yang juga saya hadapi, kenapa ya kok
bisa seperti ini? Dan adakah cara untuk mengatasinya?“
Kebiasaan (Habits)
Setelah saya
renungkan, saya menemukan sesuatu yang menarik. Rupanya, sama seperti
kebanyakan orang, selama ini Polan terlalu fokus kepada faktor motivasi saja,
sehingga mengabaikan faktor yang menurut saya lebih penting, yaitu
memunculkan sebuah kebiasaan yang mendukung.
Hal ini bisa
dilihat dari banyaknya orang yang selalu tergantung pada motivasi untuk
mencapai tujuan, tanpa mau keluar dari zona nyaman dan tanpa
mau ubah pola hidup, pola kerja dan kebiasaan-kebiasaan lama yang
sudah tidak efektif lagi.
Polan memang
butuh motivasi untuk membuatnya lebih mudah memulai sesuatu (take action), tapi
kebiasaanlah yang akan membuat anda tetap mengerjakannya pada saat motivasi
anda sudah mulai menurun.
Mungkin
beberapa di antara anda akan berpikir “Masa? kok bisa…?” Saya bisa
menjawab anda dengan pertanyaan yang sederhana, coba dipikirkan, “Apakah anda
butuh motivasi ketika anda mau makan? Apakah anda harus diberi motivasi untuk
mandi, gosok gigi, berpakaian dan kebiasaan kebiasaan rutin lainya? Tidak usah
bukan?” dan meskipun demikian… anda tetap melakukan kebiasaan positif ini
setiap hari… anda melakukannya hari ini… anda melakukannya besok… lusa… dan
seterusnya…. dan seterusnya… bahkan sampai seumur hidup… dan… yang lebih
menarik lagi… anda melakukannya dengan mudah… dan tanpa ada perasaan
terpaksa sama sekali…
Kenapa bisa
demikian…? Karena semuanya anda lakukan secara otomatis… tanpa harus ekstra
berusaha… dan tanpa perlu dipikirkan… dan itulah kekuatan dari Kebiasaan…
Contoh lain,
yang namanya kebiasaan itu sayang sekali bisa juga berupa kebiasaan kebiasaan
negatif, seperti merokok, menggigit kuku, makan berlebihan, suka mencuri dll.
Dan saya yakin anda pasti akan setuju bahwa orang-orang yang memiliki kebiasaan
seperti ini tidak butuh dimotivasi untuk terus melakukannya, ‘tul kan?
Motivasi itu
memang penting dan bisa diibaratkan sebuah perahu yang bisa anda gunakan untuk
menyeberangi sungai dengan cepat dan nyaman (meskipun ada cara lain seperti
berenang, memanjat pohon dll), dan begitu anda sudah sampai di seberang… yang
anda butuhkan bukan perahu lagi… melainkan sebuah rutinitas atau kebiasaan yang
akan membantu anda untuk meneruskan perjalanan panjang anda dengan berhasil…,
dan anda tidak akan ke mana-mana seandainya anda memilih untuk tetap
menggunakan dan berada dalam perahu tadi.
Jadi penting
sekali untuk munculkan kebiasaan baru yang positif dan yang bisa
mendukung anda dalam mengerjakan sebuah pekerjaan. Karena begitu motivasi mulai
menurun… kebiasaanlah yang menentukan… karena kebiasaanlah yang akan membuat anda
tetap konsisten… untuk kerjakan tugas… dan pekerjaan anda... sampai
selesai…
Apa yang kita
butuhkan untuk membentuk ‘habits’?
Utamakan pendidikan watak dan karakter
Dalam sebuah
kisah Tiongkok dikisahkan, ada seorang pemuda yang hendak belajar kungfu.
Datanglah dia pada sebuah perguruan kungfu. Dia menghadap gurunya dan berkata, “Guru,
ajarilah saya kungfu!”
Sang guru
menerima dia menjadi murid, namun keesokan harinya sang guru menugaskan dia
menjadi seorang juru masak perguruan. Sambil menyerahkan sebuah cerobong kecil
yang terbuat dari besi kasar beliau berkata, “Tugasmu menjadi juru masak dan
setiap engkau meniup api dengan cerobong besi ini, tekan dan remas dengan kuat
cerobong ini. Aku akan mengajarkan kungfu jika cerobong ini sudah halus dan
bayanganku terlihat jelas.”
Bertahun-tahun
berlalu. Sang murid mulai tak sabar terus-terusan menjadi juru masak. Setiap
tahun dia
menanyakan kapan dia belajar kungfu, namun sang guru tetap mengatakan
sampai cerobong besi itu halus.
Sampai akhirnya dia menunjukkan cerobong besi yang sudah halus itu pada gurunya. Sang guru tersenyum dan berkata, “Sekaranglah saatnya. Aku akan mengajarkan kepadamu ilmu yang penting, tetapi carikan dulu aku bambu yang paling keras di hutan.”
Sampai akhirnya dia menunjukkan cerobong besi yang sudah halus itu pada gurunya. Sang guru tersenyum dan berkata, “Sekaranglah saatnya. Aku akan mengajarkan kepadamu ilmu yang penting, tetapi carikan dulu aku bambu yang paling keras di hutan.”
Maka
berangkatlah sang murid ke hutan. Ia meremas setiap bambu yang ditemuinya di
hutan itu. Herannya tak satu pun dari bambu-bambu itu yang didapatkannya cukup
keras. Sampai sore hari pun dia tak menemukan bambu yang keras di hutan itu.
Akhirnya sang murid itu pulang dengan tangan hampa. Dengan kelelahan dia berkata
pada gurunya, “Guru, maafkan saya. Saya sudah mencari kemana-mana, tetapi
ternyata tidak ada bambu yang keras di hutan. Besok saya akan pergi ke hutan
lain untuk mencarinya.”
Sang guru
tersenyum sambil berkata, “Muridku, saat ini engkau telah menguasai dua hal.
Yang pertama kesabaran dan yang kedua adalah jurus tangan
peremuk tulang. Siapa pun lawanmu, engkau bisa meremukkan tulangnya dalam
sekejap. Jadi, saat ini engkau sudah menjadi salah satu pesilat tangguh dan
sukar dikalahkan. Namun, bukan cuma itu. Engkau juga telah melatih kesabaranmu
yang akan membantumu untuk bisa mempelajari ribuan jurus-jurus lainnya.”
Pertanyaan dari
kisah di atas, apakah benar dengan kesabaran kita bisa mencapai tujuan kita?
Mari kita samakan persepsi kata sabar terlebih dahulu.
Kesabaran dalam terminologi masyarakat kita banyak disalahartikan. Masyarakat
kita banyak mengartikan sabar sebagai diam, tidak membalas, menerima ataupun
pasrah. Pengertian ini sangat berlainan dengan arti dalam bahasa Yunani, yaitu
“hupomone”. Sabar dalam arti sebenarnya juga berarti tetap berusaha, tetap
berjuang dan tetap berharap. Sabar adalah kombinasi yang harmonis antara rasa
syukur, optimisme dan gigih (persistensi). Rasa syukur dapat mengkonversi
(mengubah) kondisi terburuk menjadi mempunyai makna dan kebaikan. Optimisme
adalah kemampuan kita menciptakan harapan. Dan persistensi adalah kesadaran
diri untuk tetap bergerak, berusaha dan berjuang. Itulah makna sesungguhnya
dari kata “sabar”.
Cerita
sederhana di atas memang mengandung sejumlah pelajaran yang menarik bagi siapa
saja yang bersedia belajar. Di tengah masyarakat yang sedang dihalau oleh
ajaran-ajaran cepat lulus, cepat kerja, cepat naik jabatan, cepat untung, cepat
kaya, cepat langsing, dan serba cepat lainnya, kata “sabar” seolah-olah menjadi
kadaluarsa. Orang yang terkesan sabar menjadi aneh dan kurang gaul alias
ketinggalan jaman.
Memang, kita
hidup pada jaman yang bergegas. Informasi, data, dan berita disebar dengan
kecepatan yang tak terbayangkan oleh orangtua kita dulu. Pesan pendek alias SMS
bertaburan di angkasa untuk kemudian menyusup ke dalam puluhan juta telepon
seluler dalam hitungan detik (di Indonesia jumlah ponsel yang aktif tak kurang
dari 60-an juta, dan tiap hari lebih dari 80 juta pesan pendek hilir mudik
menembus batas-batas geografis yang dulu menjadi kendala). Belum lagi sebaran
informasi, data, dan berita yang dikirim lewat jaringan surat-surat elektronik.
Semua perangkat teknologi komunikasi dan informasi itu mendukung laju
pertumbuhan budaya instan, serba cepat dan bergegas. Sehingga orang-orang yang
masih bersedia untuk “sabar” nampak seperti kawan-kawan dinosaurus.
Masalahnya,
dalam satu soal yang amat penting kita ternyata tetap harus bersabar. Dalam
soal yang vital ini teknologi tak mampu berbuat banyak. Dan “soal” yang yang
penting tersebut adalah soal membentuk watak alias karakter manusia. Berada di
wilayah kebudayaan, watak dan karakter—entah itu yang personal maupun
komunal—acapkali kita temukan bersitegang dengan teknologi. Sebagaimana setiap
kemajuan tarik menarik dengan apa yang disebut tradisi, demikianlah teknologi
yang tak sabaran itu bertikai dengan proses pembangunan karakter yang
mempersyaratkan kesabaran sebagai salah satu komponen wajibnya.
Membentuk watak tak bisa secara instan. Membangun
karakter tak mungkin dilakukan dalam sekejap mata. Sebab karakter itu
merupakan kumpulan dari habitus, semacam insting perilaku yang sudah
mendarah daging dan karenanya kenyal tak gampang patah. Apa yang perlahan
dibentuk oleh guru kungfu dalam diri pemuda yang mau belajar kepadanya adalah
mendahulukan yang utama (first thing first). Yang utama itu adalah
watak, karakter, yaitu menjadi orang yang tekun bekerja, gigih berjuang, sabar
menanti saatnya. Di atas watak yang demikian ini bisa dibangun kompetensi,
keahlian, keterampilan sebagai pendekar peremuk tulang. Keduanya, baik watak
maupun kompetensi yang menyertainya, berjalan selaras. Ketekunan bekerja dan
kesabaran berproses menjadi jalan menuju lahirnya kompetensi sebagai pendekar
peremuk tulang. Sungguh luar biasa!
Ubah ‘mindset’ anda
Pola pikir.
Begitulah banyak orang menerjemahkan kata mindset. Sementara penulis The
Science of Success bernama James Arthur Ray menerangkan mindset sebagai
jumlah total dari keyakinan, nilai-nilai, identitas, ekspektasi, sikap, kebiasaan,
opini, dan pola pikir, tentang diri Anda, orang lain, dan bagaimana hidup
berlangsung. Melalui mindset, Anda menafsirkan (memaknai) apapun yang
Anda lihat dan Anda alami dalam hidup. Lalu American Heritage Dictionary
menawarkan pengertian mindset sebagai …a fixed mental attitude or
disposition that predetermines a person’s responses to and interpretation of
situation (suatu sikap mental atau watak yang menentukan respons seseorang
dan pemaknaan atas situasi yang dihadapinya).
Jika pola pikir
akan menentukan penafsiran kita terhadap situasi hidup dan mendikte respons
yang akan kita berikan terhadap situasi yang ada, maka tidakkah ia merupakan
sesuatu yang amat sangat penting untuk dipelajari oleh setiap orang? Bukankah
pola pikir akan mempengaruhi cara kita menangani anekaragam persoalan
kehidupan? Bukankah pola pikir akan menolong kita mendefinisikan mana peluang
dan mana ancaman? Bukankah pola pikir akan membuat kita memilih area prioritas
hidup? Bukankah pola pikir juga yang mendikte cara kita menanggapi perubahan di
lingkungan sekitar? Bukankah pola pikir mendorong kita memilih perilaku
tertentu bahkan cara kita memilih dan mengucapkan kata-kata dalam berbagai
konteks kehidupan? Pada akhirnya, bukankah pola pikir yang akan mengarahkan
kehidupan seseorang di kemudian hari?
Pelajaran pola
pikir akan membantu untuk menyadari bahwa tiap respons yang diberikannya, dan
tiap penafsiran yang digunakannya untuk memahami situasi yang dihadapinya,
adalah hasil pembelajaran di masa lalu. Dengan demikian pola pikir dapat
diperbaiki atau bahkan diubah secara total. Setiap orang bukan hanya bisa
learning, tetapi juga mampu untuk un-learning dan kemudian re-learning.
Apa yang sudah dibentuk bisa dihancurkan dan dibentuk ulang dengan cara
tertentu, sepanjang diinginkan oleh pemilik pola pikir tersebut.
Seperti halnya
kecerdasan, sesungguhnya pola pikir bukan perangkat statis yang permanen. Ia
merupakan suatu perangkat yang aktif dan dinamis, jika dimanfaatkan dengan
baik. Masalahnya, sebagian besar—80an persen—orang menganggap dan meyakini
bahwa pola pikir, khususnya untuk orang dewasa, sudah tidak bisa diubah.
Anggapan dan keyakinan inilah yang justru menghalangi proses perubahannya.
Anggapan dan keyakinan ini menjadi self fulfilling prophecy.
Jika pola pikir
tidak bisa diubah, bagaimana kita menjelaskan fenomena orang yang tadinya baik
kemudian menjadi koruptor? Bagaimana kita memahami penjahat besar yang kemudian
bertobat di penjara dan menjadi Dai atau Pendeta? Bagaimana kita mengerti orang
yang tadinya bersikap anti-poligami, belakangan malah melakukan poligami dengan
sukacita? Bagaimana kita memaparkan kenyataan tentang si Polan yang dulu
dianggap bodoh dan pernah tak naik kelas, kemudian menjadi doktor manajemen
bisnis yang terkemuka? Singkatnya, jika kita beranggapan dan berkeyakinan bahwa
pola pikir tidak bisa diubah, maka ada sejumlah kesulitan mendasar untuk bisa
mengerti mengapa ada orang-orang mengalami transformasi hidup dan berubah
hidupnya secara dramatis. Juga bagaimana kita menjelaskan harapan-harapan kita
tentang masa depan yang lebih baik?
Jadi, pola
pikir merupakan hasil dari sebuah proses pembelajaran (learning) dan karenanya
bisa juga diubah (unlearning), dan dibentuk ulang (relearning). Ada yang mudah
dan ada yang sulit diubah, memang. Ada yang bisa cepat, ada yang perlu waktu
lama, tentu saja. Ada yang bisa kita ubah dengan kesadaran sendiri, ada yang
baru berubah setelah mengalami peristiwa tertentu. Ada pula pola pikir yang
bisa kita ubah dengan bantuan terapis, konselor, dan pihak tertentu yang memang
kompeten dalam soal ini.
Apakah pertanda
dari perubahan pola pikir? Mungkin ini: kita memahami hal yang sama dengan
pengertian berbeda; kita menyadari apa yang semula kita benci ternyata justru
seharusnya kita kasihi; kita tiba-tiba sadar bahwa apa yang tadinya kita yakini
benar ternyata sangatlah keliru; kita melihat diri kita dengan cara yang
berbeda dengan sebelumnya; kita melihat pekerjaan kita dengan cara yang berbeda
dengan sebelumnya; kita melihat dunia yang sama dengan kaca mata yang berbeda.
Pola pikir yang berubah tidak mengubah situasi dan lingkungan dimana kita
hidup, melainkan mengubah diri kita sendiri dari dalam. Pola pikir. Pikiran
mempunyai pola. Sungguh luar biasa!
‘Habits’ ala Stephen R. Covey
Stephen R.
Covey mengemukakan tujuh kebiasaan dari individu yang mempunyai efektifitas
tinggi dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People (1989), yaitu:
1.
Be Proactive (Bersikap Proaktif)
Dalam
menghadapi suatu masalah, kita bisa memilih untuk bersikap a) reaktif atau b) proaktif.
Bila kita cenderung menyalahkan orang lain atau keadaan yang sulit, maka kita
bersikap reaktif. Sementara proaktif adalah sikap bertanggung jawab atas setiap
aspek dalam kehidupan kita, yang selanjutnya membuat kita mengambil inisiatif
dan tindakan. Intinya, dengan bersikap proaktif, kita tidak membiarkan diri
kita terhanyut oleh keadaan, tetapi justru kita yang berusaha mengendalikan
keadaan. Dalam konsep “stimulus dan respons”, keadaan adalah stimulus
yang tidak dapat dikendalikan, tetapi manusia mempunyai daya untuk
memilih respons apa yang akan dia ambil.
2. Begin with the End In Mind (Memulai
dengan Tujuan di Pikiran)
Banyak orang
memiliki cita-cita, tetapi sedikit yang mampu membayangkan (memvisualisasikan)
dan menuangkan visi hidupnya itu dalam suatu pernyataan. Dengan membuat
“Pernyataan Misi Pribadi”, kita dibantu untuk berkonsentrasi dan
mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi apa yang akan dihadapi sebelum kita
bertindak.
3. Put First Things First (Dahulukan Yang
Utama)
Kita harus
mempunyai skala prioritas untuk tujuan-tujuan jangka pendek, dengan tidak
melupakan tugas-tugas yang walaupun terlihat tidak mendesak tetapi ternyata
penting. Dengan sempitnya waktu, seorang pemimpin harus mampu mendelegasikan
sebagian tugasnya. Pendelegasian tersebut akan efektif bila sejak awal ada
kesepakatan hasil yang ingin dituju, jadi bukan semata rincian rencana kerja
dari atas.
Kebiasaan 1- 3 merupakan kebiasaan yang berhubungan dengan diri sendiri untuk membangun karakter pribadi.
Kebiasaan 1- 3 merupakan kebiasaan yang berhubungan dengan diri sendiri untuk membangun karakter pribadi.
4. Think Win/Win (Berpikir Menang-Menang)
Bila kita
terbiasa memikirkan solusi yang saling menguntungkan (win-win solution)
bagi kedua belah pihak, maka kita dapat meningkatkan hubungan kerjasama yang
lebih efektif dalam mencapai tujuan.
5. Seek First to Understand, Then to be
Understood (Mengerti Dulu, Baru Dimengerti).
Bila kita
memberi suatu nasehat tanpa berempati atau tanpa memahami situasi orang
tersebut, maka kemungkinan besar nasehat tersebut akan ditolak atau tidak
berguna. Maka biasakan untuk “paham dulu baru bicara” agar komunikasi berjalan
dengan efektif.
6. Synergize (Sinergi)
Berusahalah
untuk mencapai sinergi positif bila bekerja dalam team. Intisarinya adalah
perbedaan nilai-nilai yang ada harus a) dihormati, b) dibangun kekuatannya, dan
c) dikompensasi kelemahannya. Galilah potensi dan kontribusi setiap anggota
team. Jika sinergi dapat dicapai, maka hasil satu team lebih besar daripada
hasil anggota bila bekerja sendiri-sendiri.
Kebiasaan 4,5,6 berhubungan dengan publik, yang diwujudkan dengan menguasai komunikasi dan kerjasama yang efektif dengan orang lain.
Kebiasaan 4,5,6 berhubungan dengan publik, yang diwujudkan dengan menguasai komunikasi dan kerjasama yang efektif dengan orang lain.
7. Sharpen the saw (Pertajam Gergaji)
Kebiasaan ini
berfokus pada pembaharuan diri secara mental, fisik, emosional/sosial dan
spiritual yang seimbang. Untuk dapat terus produktif, seseorang juga harus
menyegarkan dirinya dengan memiliki aktivitas-aktivitas rekreasi.
Dan Stephen
Covey kemudian menulis satu buku lagi dengan judul “The 8th
Habit”. Buku ini menampilkan suara sebagai inti keagungan. Ini konsep
kuno warisan Martin Luther dari abad ke-16, yang mengajarkan pekerjaan sebagai
panggilan (Beruf). Orang harus bertekun dalam panggilan itu sebab demikianlah
kehendak Tuhan.
Menurut Max
Weber (1905), inilah elemen etos ekonomi yang terlibat dalam proses keberjayaan
dunia Barat. Menurut kamus Oxford, suara yang memanggil, vocare (Latin),
menjadi vocation (Inggris), berarti pekerjaan. Tak bisa lain, vocation
harus dimaknai secara lengkap: bekerja adalah sabda ilahi. Jadi, keterangan
sosiologi ekonomi cocok dengan kamus. Singkatnya, jika panggilan (suara, titah,
sabda) ilahi itu ditanggapi penuh gairah melalui akal budi, khususnya nurani,
dalam konteks kerja, ia akan terpantul menjadi suara jiwa kita yang unik dan
mendesak diekspresikan. Buahnya ialah keunggulan dan kejayaan. Luar biasa!
Dalam bahasa
Covey: temukanlah suaramu, lalu ilhamilah orang lain menemukan suaranya! Itulah
habit ke-8. Itulah suara jiwa: melodi spiritual talenta, kegairahan, nurani,
dan kebutuhan kita. Jika orang menemukan lalu mengekspresikan suara jiwanya, ia
akan bergemilang. Dan, jika pemimpin menolong setiap warganya menemukan
suaranya, keseluruhannya akan menjadi organisasi yang gemilang, begitulah
argumentasi Covey.
ATTITUDE IS
EVERYTHING
“Attitude is a
little thing, but can make big differences”
Sikap adalah
suatu hal kecil,
tetapi dapat
menciptakan perbedaan yang besar
Helen Keller
adalah wanita yang kehilangan fungsi indra pendengaran dan penglihatan sejak
usia 19 bulan. Namun ketika sadar akan kondisi dirinya, ia masih selalu
bersyukur kepada Tuhan. “Aku berterima kasih kepada Tuhan atas segala
cacatku. Karena cacat yang kuderita, aku berhasil menemukan diriku sendiri,
pekerjaanku dan Tuhanku,” kata sarjana lulusan Harvard University di
Amerika itu. Dengan kekuatan imannya, ia pun dapat melakukan fungsinya sebagai
manusia secara optimal, yakni sebagai seorang penulis karya sastra dan guru
bagi orang-orang buta dan tuli.
Arti Syukur
Sikap Anda
setiap saat punya peran yang sangat penting terhadap kesuksesan atau
kebahagiaan Anda. Tapi sikap yang bagaimana, agar kita dapat merengkuh
kesuksesan dan kebahagiaan? Tak lain adalah sikap ‘bersyukur’ atau berterima
kasih kepada Tuhan atas apapun yang kita dapatkan di dunia ini, kendati tuna
netra (cacat fisik) seperti Helen Keller sekalipun.
Sejumlah
ilmuwan dari universitas terkemuka di dunia mengungkap bahwa manusia dapat
menggali potensinya secara lebih mendalam dan luas dengan sikap yang
positif. Yakni, dengan bersyukur itulah. Berdasarkan hasil penelitian
terhadap ribuan orang-orang yang sukses dan terpelajar, berhasil disimpulkan
bahwa 85% kesuksesan dari tiap-tiap individu dipengaruhi oleh sikap positif.
Sedangkan kepemilikan skill atau technical expertise hanya
berperan dari sisanya yang 15%.
Sikap positif
juga mempunyai peran yang lebih besar di bidang bisnis jasa maupun bisnis
pemasaran jaringan. Dapat dikatakan bahwa mencapai sukses di bisnis jasa maupun
bisnis pemasaran jaringan sangatlah gampang, selama dilakukan dengan sikap yang
positif. Ada sebuah kata-kata bijak yang menyebutkan, “Your attitude not
aptitude determine your altitude” (Sikap Anda bukanlah bakat atau
kecerdasan, tetapi menentukan tingkat kesuksesan Anda).
Sikap positif
dapat terus ditingkatkan, yang tentu saja memerlukan waktu cukup lama. Yakni,
dari pengalaman dan kesadaran serta belajar untuk berpikir positif. Karena
untuk mampu bersikap positif, seseorang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Antara lain, faktor spiritual atau kemampuan untuk bersyukur, aspirasi atau
kemampuan menciptakan impian dan kekuatan atau semangat dalam diri manusia itu
sendiri, akan sangat mempengaruhi sikap seseorang.
Faktor-faktor
tersebut memberikan kontrol terhadap sikap seseorang dalam memilih respon
terbaik atas kejadian-kejadian yang dialami. Kekuatan spiritual berpengaruh
terhadap kemampuan seseorang dalam melihat sisi positif dari setiap kejadian.
Kekuatan keimanan menjadikan seseorang akan mampu mengartikan semua fenomena
hidup ini sebagai pelajaran berharga, yang dapat membangkitkan nilai lebih
dalam diri.
Selain itu,
kekuatan spiritual juga merupakan kontrol yang sangat efisien terhadap sikap
seseorang, sehingga orang itu tetap memiliki tekad yang kuat untuk berusaha
dengan cara-cara yang positif tanpa kenal putus asa. Kekuatan spiritual
mengarahkan sikap seseorang dan pikirannya kepada hal-hal yang positif, tidak
dihantui oleh rasa tidak percaya diri, malas, dan sikap negatif lainnya. Sikap
ini juga dipengaruhi impian. Seseorang yang selalu dapat memperbarui
impian akan cenderung bersikap berani, rajin, percaya diri atau bersikap lebih
positif.
Impian yang
besar akan menjadikan seseorang berusaha mengadaptasikan sikap mereka menjadi
penuh tenggang rasa, jujur, hormat, tegas, insiatif, berjiwa besar dan lain
sebagainya. Orang yang mempunyai impian akan selalu dapat mengendalikan
sikap dengan pikirannya. Oleh sebab itu, letakkan satu standar yang lebih
tinggi, sehingga potensi diri kita dapat ditingkatkan.
William
Faulkner, seorang novelis peraih hadiah nobel, mengatakan, “Impikan dan
bidiklah selalu lebih tinggi daripada yang Anda sanggupi. Janganlah hanya bercita-cita
lebih baik daripada pendahulu atau sesama Anda. Cobalah menjadi lebih baik
daripada diri sendiri.” Artinya, kita senantiasa memerlukan impian sebagai
kontrol terhadap sikap dan mencapai kemajuan hidup yang berarti.
Selain impian,
ada satu hal yang penting di sini yaitu antusiasme. Kata itu berasal dari
bahasa Yunani, yaitu en theos artinya God in you – Tuhan bersamamu – Di
saat kita sedang bersemangat, pada saat itulah Tuhan senantiasa mendampingi
kita. Dengan semangat itulah manusia menciptakan impian yang lebih besar,
berusaha memperoleh kemajuan-kemajuan serta mencapai sukses. Elbert Hubbart pun
menegaskan, “Nothing great has ever been accomplished without enthusiasm”
(tidak ada satupun kemajuan menakjubkan untuk diraih tanpa antusiasme). Semangat
dapat terus ditingkatkan dengan mengisi setiap detik waktu kita dengan
kebiasaan-kebiasaan yang konstruktif. Kebiasaan-kebiasaan positif itu di
antaranya mendengar, membaca, berbicara dan bergaul dengan orang yang positif.
Jika seseorang
dapat mempertahankan dan meningkatkan semangat hidup dalam dirinya, maka
sikapnya menjadi lebih terarah hingga dapat menikmati hal-hal yang benar-benar
menakjubkan di dunia ini. Sikap yang benar-benar didasari oleh faktor-faktor
spiritual, impian dan antusiasme yang kuat pada kenyataannya selalu positif.
Sikap positif itu sendiri sangat mempengaruhi seseorang untuk dapat
mengekplorasi seluruh potensi diri dan meraih kesuksesan maupun kebahagiaan.
Sikap ternyata yang terpenting bagi kemajuan atau kebahagiaan Anda saat ini dan
di masa-masa yang akan datang. Nah, bagaimana dengan sikap dan antusiasme Anda
?
Pandangan
Alkitab tentang kebiasaan
”Jangan menjadi serupa dengan dunia ini tetapi
berubahlah dengan pembaharuan budimu” (Roma 12:2)
Pada musim
kemarau kita jumpai banyak daun berguguran dari pohonnya. Apa yang dapat kita
pelajari dari ilustrasi di atas? Daun yang gugur dari pohonnya akan digantikan
daun baru, sama halnya dengan hidup manusia yang jiwanya kering oleh perbuatan
dosa.
Perbuatan dan
kebiasaan dosa manusia telah menjerat hidup manusia sehingga manusia jauh dari
Allah.
Hal yang
penting Alkitab ajarkan buat orang-orang yang sudah menerima anugerah
keselamatan adalah mesti berubah. Orang percaya tidak boleh lagi punya hidup
yang sama seperti dunia tetapi mesti berubah.
Apa yang
dikatakan, yang dipikirkan dan dilakukan harus berbeda dengan dunia, apa
maksudnya? Apakah kita harus bikin yang aneh-aneh? Oh bukan, maksudnya kita
harus hidup dalam kesucian, bukan dalam dosa (cara hidup dunia) seperti halnya
daun gugur yang digantikan daun baru, kita mesti mau berubah dari sifat- sifat
atau kebiasaan buruk.
Alkitab ajarkan
bahwa perubahan dimulai dengan pembaharuan budi. Apa itu pembaharuan budi?
Pembaharuan cara berpikir kita. Kita ini dididik sekian waktu oleh dunia, sebelum
percaya Yesus dengan otomatis kita belajar cara hidup dunia, misalnya dunia
mengajar siapa mau sukses mesti kerja keras, cara apapun boleh yang penting
sukses, dunia juga ajarkan segala sesuatu mesti dinilai dengan keuntungan
yang diberikan, jika tidak ada untungnya buat kita untuk apa kita kerjakan?
Pembaruan cara
berpikir bisa terjadi kalau kita mengisi pikiran kita dengan Firman Allah.
Semakin banyak firman kita masukkan dalam pikiran kita semakin cepat kita
mengalami pembaharuan budi.
Dan yang paling
penting pembaharuan komitmen Anda untuk mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan
buruk yang membuat Anda jatuh dalam dosa.
Nah, tibalah
kita pada kesimpulan
Lalu,
bagaimanakah membangun kebiasaan dan karakter. Tanpa disadari kita membentuk
kebiasaan kita pada setiap saat kehidupan kita. Beberapa di antaranya mungkin
kebiasaan yang alami; beberapa yang lain adalah kebiasaan yang paling tidak
kita sukai. Beberapa, meskipun tidak begitu parah awalnya, tapi akan menjadi
amat buruk di kemudian hari, dan akan menyebabkan banyak kerugian, rasa sakit
dan penderitaan, Sementara kebiasaan yang sebaliknya, akan membawa banyak
rasa damai, cinta dan sukacita.
Apakah kita,
dengan sadar, akan menentukan jenis kebiasaan apa yang akan mendominasi
setiap sendi dalam kehidupan kita? Dengan kata lain, kita akan membentuk
kebiasaan dan membangun karakter kita. Kebiasaan yang dilakukan baik dengan
maupun tanpa sadar lambat laun akan mengakar dan membentuk karakter kita.
Pertanyaannya, apakah kita telah memiliki control terhadap kebiasaan-kebiasaan
kita tersebut, atau kebiasaan-kebiasaan kita itu yang telah-tanpa kita
sadari-mengontrol kehidupan kita?
Pikiran kita
adalah kekuatan yang melandasi semua. Artinya, ini: Setiap tindakan kita,
lakukan dengan sadar, semuanya didasari oleh pikiran. Pikiran kita yang paling
dominan menentukan tindakan kita yang paling utama. Dalam hal ini kita
tentunya memiliki kendali mutlak atas pikiran kita, atau kita bisa belajar
mengendalikan kebiasaan kita dengan mulai mengendalikan pikiran-pikiran kita.
Ada beberapa
hal penting, menurut hemat saya, yang perlu kita bangun dalam diri sendiri.
Agar kita tetap konsisten dan kontiniu dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan
untuk mencapai tujuan. Hal-hal itu adalah perlunya kita membangun habit (kebiasaan)
yang positif (tentunya). Lebih baik mementingkan habit daripada motivasi
(walaupun motivasi sangatlah penting). Habit-lah yang menjaga
keseimbangan diri untuk tetap mampu melakukan tugas-tugas mencapai tujuan.
Sikap, watak, karakter, otomatis akan terbangun bila kita sudah memiliki
habits. Selamat membangun karakter melalui habit, semoga Naposo Bulung HKBP Jl.
Letjend. Suprapto kelak menjadi orang-orang yang sukses tanpa batas, dan
ingatlah semuanya membutuhkan waktu, semuanya membutuhkan kesabaran. Setelah
ini kita akan masuk kepada paparan tentang “Self Development”. Itulah yang
dapat saya paparkan, mudah-mudahan berguna. Syaloom, Horas!!!
Di bawah ini,
saya sertakan tips action untuk menerapkan ide di atas:
- Putuskan untuk ambil tanggung jawab penuh atas hidup anda… karena anda sendirilah satu-satunya… orang yang bertanggung jawab… atas kesuksesan dalam hidup anda… bukan lingkungan anda… bukan pula seorang motivator… dan bukan siapapun… melainkan diri anda sendiri…
- Lakukan perencanaan yang detil secara rutin untuk menentukan arah dan tujuan dalam hidup anda.
- Untuk mencapai sebuah sasaran/goal, anda bisa gunakan motivasi untuk mempermudah anda take action, tapi yang lebih penting, selalu tanyakan pada diri anda, “Untuk mencapai goal saya, kebiasaan baru apa yang harus saya munculkan? Dan kebiasaan lama apakah yang harus saya hilangkan?” Ubahlah kebiasaan bekerja anda dan bahkan jika perlu, ubahlah kebiasaan hidup anda untuk disesuaikan dengan sasaran atau goal anda…
- Ketika memunculkan kebiasaan baru, nikmatilah kebiasaan tersebut… dengan fokus dan mencari… hal hal yang anda sukai dari kebiasaan tersebut.
- Sesudah anda memutuskan untuk melakukan sesuatu, tentukan batas waktunya… dan lakukan saja tanpa dipikir lagi… Just Do It!!!. Analisa itu hanya anda butuhkan pada saat membuat rencana, ketika masalah muncul dan pada saat evaluasi.
- Ketika anda mengerjakan sesuatu, berandai-andai dan lakukan dengan cara seolah-olah kegiatan tersebut adalah sebuah kebiasaan yang sudah lama anda lakukan. Lama kelamaan bawah sadar anda akan merespons dan membuatnya menjadi sebuah kebiasaan.
- Kebiasaan itu muncul pada level pikiran bawah sadar, jadi anda bisa memprogram dan menanamkan sebuah kebiasaan baru dengan cepat.
sumber http://tumpalsimamora.wordpress.com/2009/07/21/habit-and-attitude/#comment-77