Senin, 08 April 2013

Habit yang Sangat Berarti



HABIT AND ATTITUDE

Motivation…. or Habits?
Motivasi
Berada dalam lingkungan orang orang yang suka belajar dan peduli dengan pengembangan potensi diri selalu saja memberikan pengalaman yang sangat menarik, karena banyak sekali hal positif yang bisa dipelajari.

Saya akan gambarkan dengan cerita ini: ada seseorang, katakanlah namanya “Polan”, dan Polan ini dari dulu sudah suka sekali dengan topik yang berhubungan dengan motivasi, Polan banyak sekali membaca buku-buku tentang motivasi dan bahkan Polan sering sekali mengikuti seminar motivasi yang bagus-bagus.
Pada suatu hari, Polan mengeluh kenapa selama ini susah sekali mempertahankan kondisi termotivasi dalam jangka waktu lama, terutama ketika Polan harus mengerjakan sebuah tugas yang membutuhkan konsistensi dan ketekunan dalam jangka waktu yang lama.

Memang benar selama ini buku dan seminar motivasi bisa memberikan Polan semangat yang menggebu-gebu pada awalnya, namun kondisi ini hanya bertahan beberapa minggu bahkan terkadang hanya beberapa hari saja, untuk mengatasi rasa malas dan bosan yang mulai muncul dan supaya bisa tetap konsisten pada tugasnya, biasanya Polan harus mengikuti lagi seminar motivasi yang berikutnya… dan berikutnya… dan berikutnya…!!!

Apakah Anda juga memiliki pengalaman yang sama? Mungkin saja Anda sekarang juga akan berkata dalam hati, “Itu dia kendala yang juga saya hadapi, kenapa ya kok bisa seperti ini? Dan adakah cara untuk mengatasinya?“

Kebiasaan (Habits)
Setelah saya renungkan, saya menemukan sesuatu yang menarik. Rupanya, sama seperti kebanyakan orang, selama ini Polan terlalu fokus kepada faktor motivasi saja, sehingga mengabaikan faktor yang menurut saya lebih penting, yaitu memunculkan sebuah kebiasaan yang mendukung.

Hal ini bisa dilihat dari banyaknya orang yang selalu tergantung pada motivasi untuk mencapai tujuan, tanpa mau keluar dari zona nyaman dan tanpa mau ubah pola hidup, pola kerja dan kebiasaan-kebiasaan lama yang sudah tidak efektif lagi.

Polan memang butuh motivasi untuk membuatnya lebih mudah memulai sesuatu (take action), tapi kebiasaanlah yang akan membuat anda tetap mengerjakannya pada saat motivasi anda sudah mulai menurun.
Mungkin beberapa di antara anda akan berpikir “Masa? kok bisa…?” Saya bisa menjawab anda dengan pertanyaan yang sederhana, coba dipikirkan, “Apakah anda butuh motivasi ketika anda mau makan? Apakah anda harus diberi motivasi untuk mandi, gosok gigi, berpakaian dan kebiasaan kebiasaan rutin lainya? Tidak usah bukan?” dan meskipun demikian… anda tetap melakukan kebiasaan positif ini setiap hari… anda melakukannya hari ini… anda melakukannya besok… lusa… dan seterusnya…. dan seterusnya… bahkan sampai seumur hidup… dan… yang lebih menarik lagi… anda melakukannya dengan mudah… dan tanpa ada perasaan terpaksa sama sekali…

Kenapa bisa demikian…? Karena semuanya anda lakukan secara otomatis… tanpa harus ekstra berusaha… dan tanpa perlu dipikirkan… dan itulah kekuatan dari Kebiasaan…

Contoh lain, yang namanya kebiasaan itu sayang sekali bisa juga berupa kebiasaan kebiasaan negatif, seperti merokok, menggigit kuku, makan berlebihan, suka mencuri dll. Dan saya yakin anda pasti akan setuju bahwa orang-orang yang memiliki kebiasaan seperti ini tidak butuh dimotivasi untuk terus melakukannya, ‘tul kan?

Motivasi itu memang penting dan bisa diibaratkan sebuah perahu yang bisa anda gunakan untuk menyeberangi sungai dengan cepat dan nyaman (meskipun ada cara lain seperti berenang, memanjat pohon dll), dan begitu anda sudah sampai di seberang… yang anda butuhkan bukan perahu lagi… melainkan sebuah rutinitas atau kebiasaan yang akan membantu anda untuk meneruskan perjalanan panjang anda dengan berhasil…, dan anda tidak akan ke mana-mana seandainya anda memilih untuk tetap menggunakan dan berada dalam perahu tadi.

Jadi penting sekali untuk munculkan kebiasaan baru yang positif dan yang bisa mendukung anda dalam mengerjakan sebuah pekerjaan. Karena begitu motivasi mulai menurun… kebiasaanlah yang menentukan… karena kebiasaanlah yang akan membuat anda tetap konsisten… untuk kerjakan tugas… dan pekerjaan anda... sampai selesai…

Apa yang kita butuhkan untuk membentuk ‘habits’?

Utamakan pendidikan watak dan karakter
Dalam sebuah kisah Tiongkok dikisahkan, ada seorang pemuda yang hendak belajar kungfu. Datanglah dia pada sebuah perguruan kungfu. Dia menghadap gurunya dan berkata, “Guru, ajarilah saya kungfu!”
 
Sang guru menerima dia menjadi murid, namun keesokan harinya sang guru menugaskan dia menjadi seorang juru masak perguruan. Sambil menyerahkan sebuah cerobong kecil yang terbuat dari besi kasar beliau berkata, “Tugasmu menjadi juru masak dan setiap engkau meniup api dengan cerobong besi ini, tekan dan remas dengan kuat cerobong ini. Aku akan mengajarkan kungfu jika cerobong ini sudah halus dan bayanganku terlihat jelas.”

Bertahun-tahun berlalu. Sang murid mulai tak sabar terus-terusan menjadi juru masak. Setiap tahun dia
menanyakan kapan dia belajar kungfu, namun sang guru tetap mengatakan sampai cerobong besi itu halus.
Sampai akhirnya dia menunjukkan cerobong besi yang sudah halus itu pada gurunya. Sang guru tersenyum dan berkata, “Sekaranglah saatnya. Aku akan mengajarkan kepadamu ilmu yang penting, tetapi carikan dulu aku bambu yang paling keras di hutan.”

Maka berangkatlah sang murid ke hutan. Ia meremas setiap bambu yang ditemuinya di hutan itu. Herannya tak satu pun dari bambu-bambu itu yang didapatkannya cukup keras. Sampai sore hari pun dia tak menemukan bambu yang keras di hutan itu. Akhirnya sang murid itu pulang dengan tangan hampa. Dengan kelelahan dia berkata pada gurunya, “Guru, maafkan saya. Saya sudah mencari kemana-mana, tetapi ternyata tidak ada bambu yang keras di hutan. Besok saya akan pergi ke hutan lain untuk mencarinya.”

Sang guru tersenyum sambil berkata, “Muridku, saat ini engkau telah menguasai dua hal. Yang pertama kesabaran dan yang kedua adalah jurus tangan peremuk tulang. Siapa pun lawanmu, engkau bisa meremukkan tulangnya dalam sekejap. Jadi, saat ini engkau sudah menjadi salah satu pesilat tangguh dan sukar dikalahkan. Namun, bukan cuma itu. Engkau juga telah melatih kesabaranmu yang akan membantumu untuk bisa mempelajari ribuan jurus-jurus lainnya.”

Pertanyaan dari kisah di atas, apakah benar dengan kesabaran kita bisa mencapai tujuan kita? Mari kita samakan persepsi kata sabar terlebih dahulu.
 
Kesabaran dalam terminologi masyarakat kita banyak disalahartikan. Masyarakat kita banyak mengartikan sabar sebagai diam, tidak membalas, menerima ataupun pasrah. Pengertian ini sangat berlainan dengan arti dalam bahasa Yunani, yaitu “hupomone”. Sabar dalam arti sebenarnya juga berarti tetap berusaha, tetap berjuang dan tetap berharap. Sabar adalah kombinasi yang harmonis antara rasa syukur, optimisme dan gigih (persistensi). Rasa syukur dapat mengkonversi (mengubah) kondisi terburuk menjadi mempunyai makna dan kebaikan. Optimisme adalah kemampuan kita menciptakan harapan. Dan persistensi adalah kesadaran diri untuk tetap bergerak, berusaha dan berjuang. Itulah makna sesungguhnya dari kata “sabar”.

Cerita sederhana di atas memang mengandung sejumlah pelajaran yang menarik bagi siapa saja yang bersedia belajar. Di tengah masyarakat yang sedang dihalau oleh ajaran-ajaran cepat lulus, cepat kerja, cepat naik jabatan, cepat untung, cepat kaya, cepat langsing, dan serba cepat lainnya, kata “sabar” seolah-olah menjadi kadaluarsa. Orang yang terkesan sabar menjadi aneh dan kurang gaul alias ketinggalan jaman.

Memang, kita hidup pada jaman yang bergegas. Informasi, data, dan berita disebar dengan kecepatan yang tak terbayangkan oleh orangtua kita dulu. Pesan pendek alias SMS bertaburan di angkasa untuk kemudian menyusup ke dalam puluhan juta telepon seluler dalam hitungan detik (di Indonesia jumlah ponsel yang aktif tak kurang dari 60-an juta, dan tiap hari lebih dari 80 juta pesan pendek hilir mudik menembus batas-batas geografis yang dulu menjadi kendala). Belum lagi sebaran informasi, data, dan berita yang dikirim lewat jaringan surat-surat elektronik. Semua perangkat teknologi komunikasi dan informasi itu mendukung laju pertumbuhan budaya instan, serba cepat dan bergegas. Sehingga orang-orang yang masih bersedia untuk “sabar” nampak seperti kawan-kawan dinosaurus.

Masalahnya, dalam satu soal yang amat penting kita ternyata tetap harus bersabar. Dalam soal yang vital ini teknologi tak mampu berbuat banyak. Dan “soal” yang yang penting tersebut adalah soal membentuk watak alias karakter manusia. Berada di wilayah kebudayaan, watak dan karakter—entah itu yang personal maupun komunal—acapkali kita temukan bersitegang dengan teknologi. Sebagaimana setiap kemajuan tarik menarik dengan apa yang disebut tradisi, demikianlah teknologi yang tak sabaran itu bertikai dengan proses pembangunan karakter yang mempersyaratkan kesabaran sebagai salah satu komponen wajibnya.

Membentuk watak tak bisa secara instan. Membangun karakter tak mungkin dilakukan dalam sekejap mata. Sebab karakter itu merupakan kumpulan dari habitus, semacam insting perilaku yang sudah mendarah daging dan karenanya kenyal tak gampang patah. Apa yang perlahan dibentuk oleh guru kungfu dalam diri pemuda yang mau belajar kepadanya adalah mendahulukan yang utama (first thing first). Yang utama itu adalah watak, karakter, yaitu menjadi orang yang tekun bekerja, gigih berjuang, sabar menanti saatnya. Di atas watak yang demikian ini bisa dibangun kompetensi, keahlian, keterampilan sebagai pendekar peremuk tulang. Keduanya, baik watak maupun kompetensi yang menyertainya, berjalan selaras. Ketekunan bekerja dan kesabaran berproses menjadi jalan menuju lahirnya kompetensi sebagai pendekar peremuk tulang. Sungguh luar biasa!

Ubah ‘mindset’ anda
Pola pikir. Begitulah banyak orang menerjemahkan kata mindset. Sementara penulis The Science of Success bernama James Arthur Ray menerangkan mindset sebagai jumlah total dari keyakinan, nilai-nilai, identitas, ekspektasi, sikap, kebiasaan, opini, dan pola pikir, tentang diri Anda, orang lain, dan bagaimana hidup berlangsung. Melalui mindset, Anda menafsirkan (memaknai) apapun yang Anda lihat dan Anda alami dalam hidup. Lalu American Heritage Dictionary menawarkan pengertian mindset sebagai …a fixed mental attitude or disposition that predetermines a person’s responses to and interpretation of situation (suatu sikap mental atau watak yang menentukan respons seseorang dan pemaknaan atas situasi yang dihadapinya).

Jika pola pikir akan menentukan penafsiran kita terhadap situasi hidup dan mendikte respons yang akan kita berikan terhadap situasi yang ada, maka tidakkah ia merupakan sesuatu yang amat sangat penting untuk dipelajari oleh setiap orang? Bukankah pola pikir akan mempengaruhi cara kita menangani anekaragam persoalan kehidupan? Bukankah pola pikir akan menolong kita mendefinisikan mana peluang dan mana ancaman? Bukankah pola pikir akan membuat kita memilih area prioritas hidup? Bukankah pola pikir juga yang mendikte cara kita menanggapi perubahan di lingkungan sekitar? Bukankah pola pikir mendorong kita memilih perilaku tertentu bahkan cara kita memilih dan mengucapkan kata-kata dalam berbagai konteks kehidupan? Pada akhirnya, bukankah pola pikir yang akan mengarahkan kehidupan seseorang di kemudian hari?

Pelajaran pola pikir akan membantu untuk menyadari bahwa tiap respons yang diberikannya, dan tiap penafsiran yang digunakannya untuk memahami situasi yang dihadapinya, adalah hasil pembelajaran di masa lalu. Dengan demikian pola pikir dapat diperbaiki atau bahkan diubah secara total. Setiap orang bukan hanya bisa learning, tetapi juga mampu untuk un-learning dan kemudian re-learning. Apa yang sudah dibentuk bisa dihancurkan dan dibentuk ulang dengan cara tertentu, sepanjang diinginkan oleh pemilik pola pikir tersebut.

Seperti halnya kecerdasan, sesungguhnya pola pikir bukan perangkat statis yang permanen. Ia merupakan suatu perangkat yang aktif dan dinamis, jika dimanfaatkan dengan baik. Masalahnya, sebagian besar—80an persen—orang menganggap dan meyakini bahwa pola pikir, khususnya untuk orang dewasa, sudah tidak bisa diubah. Anggapan dan keyakinan inilah yang justru menghalangi proses perubahannya. Anggapan dan keyakinan ini menjadi self fulfilling prophecy.

Jika pola pikir tidak bisa diubah, bagaimana kita menjelaskan fenomena orang yang tadinya baik kemudian menjadi koruptor? Bagaimana kita memahami penjahat besar yang kemudian bertobat di penjara dan menjadi Dai atau Pendeta? Bagaimana kita mengerti orang yang tadinya bersikap anti-poligami, belakangan malah melakukan poligami dengan sukacita? Bagaimana kita memaparkan kenyataan tentang si Polan yang dulu dianggap bodoh dan pernah tak naik kelas, kemudian menjadi doktor manajemen bisnis yang terkemuka? Singkatnya, jika kita beranggapan dan berkeyakinan bahwa pola pikir tidak bisa diubah, maka ada sejumlah kesulitan mendasar untuk bisa mengerti mengapa ada orang-orang mengalami transformasi hidup dan berubah hidupnya secara dramatis. Juga bagaimana kita menjelaskan harapan-harapan kita tentang masa depan yang lebih baik?

Jadi, pola pikir merupakan hasil dari sebuah proses pembelajaran (learning) dan karenanya bisa juga diubah (unlearning), dan dibentuk ulang (relearning). Ada yang mudah dan ada yang sulit diubah, memang. Ada yang bisa cepat, ada yang perlu waktu lama, tentu saja. Ada yang bisa kita ubah dengan kesadaran sendiri, ada yang baru berubah setelah mengalami peristiwa tertentu. Ada pula pola pikir yang bisa kita ubah dengan bantuan terapis, konselor, dan pihak tertentu yang memang kompeten dalam soal ini.

Apakah pertanda dari perubahan pola pikir? Mungkin ini: kita memahami hal yang sama dengan pengertian berbeda; kita menyadari apa yang semula kita benci ternyata justru seharusnya kita kasihi; kita tiba-tiba sadar bahwa apa yang tadinya kita yakini benar ternyata sangatlah keliru; kita melihat diri kita dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya; kita melihat pekerjaan kita dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya; kita melihat dunia yang sama dengan kaca mata yang berbeda. Pola pikir yang berubah tidak mengubah situasi dan lingkungan dimana kita hidup, melainkan mengubah diri kita sendiri dari dalam. Pola pikir. Pikiran mempunyai pola. Sungguh luar biasa!

‘Habits’ ala Stephen R. Covey
Stephen R. Covey mengemukakan tujuh kebiasaan dari individu yang mempunyai efektifitas tinggi dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People (1989), yaitu:
1.    Be Proactive (Bersikap Proaktif)
Dalam menghadapi suatu masalah, kita bisa memilih untuk bersikap a) reaktif atau b) proaktif. Bila kita cenderung menyalahkan orang lain atau keadaan yang sulit, maka kita bersikap reaktif. Sementara proaktif adalah sikap bertanggung jawab atas setiap aspek dalam kehidupan kita, yang selanjutnya membuat kita mengambil inisiatif dan tindakan. Intinya, dengan bersikap proaktif, kita tidak membiarkan diri kita terhanyut oleh keadaan, tetapi justru kita yang berusaha mengendalikan keadaan. Dalam konsep “stimulus dan respons”, keadaan adalah stimulus yang tidak dapat dikendalikan, tetapi manusia mempunyai  daya  untuk memilih respons apa yang akan dia ambil.

2.    Begin with the End In Mind (Memulai dengan Tujuan di Pikiran)
Banyak orang memiliki cita-cita, tetapi sedikit yang mampu membayangkan (memvisualisasikan) dan menuangkan visi hidupnya itu dalam suatu pernyataan. Dengan membuat “Pernyataan Misi Pribadi”, kita dibantu untuk berkonsentrasi dan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi apa yang akan dihadapi sebelum kita bertindak.

3.    Put First Things First (Dahulukan Yang Utama)
Kita harus mempunyai skala prioritas untuk tujuan-tujuan jangka pendek,  dengan tidak melupakan tugas-tugas yang walaupun terlihat tidak mendesak tetapi ternyata penting. Dengan sempitnya waktu, seorang pemimpin harus mampu mendelegasikan sebagian tugasnya. Pendelegasian tersebut akan efektif bila sejak awal ada kesepakatan hasil yang ingin dituju, jadi bukan semata rincian rencana kerja dari atas.
Kebiasaan 1- 3 merupakan kebiasaan yang berhubungan dengan diri sendiri untuk membangun karakter pribadi.

4.    Think Win/Win (Berpikir Menang-Menang)
Bila kita terbiasa memikirkan solusi yang saling menguntungkan (win-win solution) bagi kedua belah pihak, maka kita dapat meningkatkan hubungan kerjasama yang lebih efektif dalam mencapai tujuan.

5.    Seek First to Understand, Then to be Understood (Mengerti Dulu, Baru Dimengerti).
Bila kita memberi suatu nasehat tanpa berempati atau tanpa memahami situasi orang tersebut, maka kemungkinan besar nasehat tersebut akan ditolak atau tidak berguna. Maka biasakan untuk “paham dulu baru bicara” agar komunikasi berjalan dengan efektif.

6.    Synergize (Sinergi)
Berusahalah untuk mencapai sinergi positif bila bekerja dalam team. Intisarinya adalah perbedaan nilai-nilai yang ada harus a) dihormati, b) dibangun kekuatannya, dan c) dikompensasi kelemahannya. Galilah potensi dan kontribusi setiap anggota team. Jika sinergi dapat dicapai, maka hasil satu team lebih besar daripada hasil anggota bila bekerja sendiri-sendiri.
Kebiasaan 4,5,6 berhubungan dengan publik, yang diwujudkan dengan menguasai komunikasi dan  kerjasama yang efektif dengan orang lain.

7.    Sharpen the saw (Pertajam Gergaji)
Kebiasaan ini berfokus pada pembaharuan diri secara mental, fisik, emosional/sosial dan spiritual yang seimbang. Untuk dapat terus produktif, seseorang juga harus menyegarkan dirinya dengan memiliki aktivitas-aktivitas rekreasi.

Dan Stephen Covey kemudian menulis satu buku lagi dengan judul “The 8th Habit”. Buku ini menampilkan suara sebagai inti keagungan. Ini konsep kuno warisan Martin Luther dari abad ke-16, yang mengajarkan pekerjaan sebagai panggilan (Beruf). Orang harus bertekun dalam panggilan itu sebab demikianlah kehendak Tuhan.

Menurut Max Weber (1905), inilah elemen etos ekonomi yang terlibat dalam proses keberjayaan dunia Barat. Menurut kamus Oxford, suara yang memanggil, vocare (Latin), menjadi vocation (Inggris), berarti pekerjaan. Tak bisa lain, vocation harus dimaknai secara lengkap: bekerja adalah sabda ilahi. Jadi, keterangan sosiologi ekonomi cocok dengan kamus. Singkatnya, jika panggilan (suara, titah, sabda) ilahi itu ditanggapi penuh gairah melalui akal budi, khususnya nurani, dalam konteks kerja, ia akan terpantul menjadi suara jiwa kita yang unik dan mendesak diekspresikan. Buahnya ialah keunggulan dan kejayaan. Luar biasa!
Dalam bahasa Covey: temukanlah suaramu, lalu ilhamilah orang lain menemukan suaranya! Itulah habit ke-8. Itulah suara jiwa: melodi spiritual talenta, kegairahan, nurani, dan kebutuhan kita. Jika orang menemukan lalu mengekspresikan suara jiwanya, ia akan bergemilang. Dan, jika pemimpin menolong setiap warganya menemukan suaranya, keseluruhannya akan menjadi organisasi yang gemilang, begitulah argumentasi Covey.

ATTITUDE IS EVERYTHING
“Attitude is a little thing, but can make big differences”
Sikap adalah suatu hal kecil,
tetapi dapat menciptakan perbedaan yang besar
Helen Keller adalah wanita yang kehilangan fungsi indra pendengaran dan penglihatan sejak usia 19 bulan. Namun ketika sadar akan kondisi dirinya, ia masih selalu bersyukur kepada Tuhan. “Aku berterima kasih kepada Tuhan atas segala cacatku. Karena cacat yang kuderita, aku berhasil menemukan diriku sendiri, pekerjaanku dan Tuhanku,” kata sarjana lulusan Harvard University di Amerika itu. Dengan kekuatan imannya, ia pun dapat melakukan fungsinya sebagai manusia secara optimal, yakni sebagai seorang penulis karya sastra dan guru bagi orang-orang buta dan tuli.

Arti Syukur
Sikap Anda setiap saat punya peran yang sangat penting terhadap kesuksesan atau kebahagiaan Anda. Tapi sikap yang bagaimana, agar kita dapat merengkuh kesuksesan dan kebahagiaan? Tak lain adalah sikap ‘bersyukur’ atau berterima kasih kepada Tuhan atas apapun yang kita dapatkan di dunia ini, kendati tuna netra (cacat fisik) seperti Helen Keller sekalipun.
Sejumlah ilmuwan dari universitas terkemuka di dunia mengungkap bahwa manusia dapat menggali potensinya secara lebih mendalam dan luas dengan sikap yang positif. Yakni, dengan bersyukur itulah. Berdasarkan hasil penelitian terhadap ribuan orang-orang yang sukses dan terpelajar, berhasil disimpulkan bahwa 85% kesuksesan dari tiap-tiap individu dipengaruhi oleh sikap positif. Sedangkan kepemilikan skill atau technical expertise hanya berperan dari sisanya yang 15%.
Sikap positif juga mempunyai peran yang lebih besar di bidang bisnis jasa maupun bisnis pemasaran jaringan. Dapat dikatakan bahwa mencapai sukses di bisnis jasa maupun bisnis pemasaran jaringan sangatlah gampang, selama dilakukan dengan sikap yang positif. Ada sebuah kata-kata bijak yang menyebutkan, “Your attitude not aptitude determine your altitude” (Sikap Anda bukanlah bakat atau kecerdasan, tetapi menentukan tingkat kesuksesan Anda).

Sikap positif dapat terus ditingkatkan, yang tentu saja memerlukan waktu cukup lama. Yakni, dari pengalaman dan kesadaran serta belajar untuk berpikir positif. Karena untuk mampu bersikap positif, seseorang akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Antara lain, faktor spiritual atau kemampuan untuk bersyukur, aspirasi atau kemampuan menciptakan impian dan kekuatan atau semangat dalam diri manusia itu sendiri, akan sangat mempengaruhi sikap seseorang.

Faktor-faktor tersebut memberikan kontrol terhadap sikap seseorang dalam memilih respon terbaik atas kejadian-kejadian yang dialami. Kekuatan spiritual berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melihat sisi positif dari setiap kejadian. Kekuatan keimanan menjadikan seseorang akan mampu mengartikan semua fenomena hidup ini sebagai pelajaran berharga, yang dapat membangkitkan nilai lebih dalam diri.

Selain itu, kekuatan spiritual juga merupakan kontrol yang sangat efisien terhadap sikap seseorang, sehingga orang itu tetap memiliki tekad yang kuat untuk berusaha dengan cara-cara yang positif tanpa kenal putus asa. Kekuatan spiritual mengarahkan sikap seseorang dan pikirannya kepada hal-hal yang positif, tidak dihantui oleh rasa tidak percaya diri, malas, dan sikap negatif lainnya. Sikap ini juga dipengaruhi impian. Seseorang yang selalu dapat memperbarui impian akan cenderung bersikap berani, rajin, percaya diri atau bersikap lebih positif.

Impian yang besar akan menjadikan seseorang berusaha mengadaptasikan sikap mereka menjadi penuh tenggang rasa, jujur, hormat, tegas, insiatif, berjiwa besar dan lain sebagainya. Orang yang mempunyai impian akan selalu dapat mengendalikan sikap dengan pikirannya. Oleh sebab itu, letakkan satu standar yang lebih tinggi, sehingga potensi diri kita dapat ditingkatkan.

William Faulkner, seorang novelis peraih hadiah nobel, mengatakan, “Impikan dan bidiklah selalu lebih tinggi daripada yang Anda sanggupi. Janganlah hanya bercita-cita lebih baik daripada pendahulu atau sesama Anda. Cobalah menjadi lebih baik daripada diri sendiri.” Artinya, kita senantiasa memerlukan impian sebagai kontrol terhadap sikap dan mencapai kemajuan hidup yang berarti.
Selain impian, ada satu hal yang penting di sini yaitu antusiasme. Kata itu berasal dari bahasa Yunani, yaitu en theos artinya God in you – Tuhan bersamamu – Di saat kita sedang bersemangat, pada saat itulah Tuhan senantiasa mendampingi kita. Dengan semangat itulah manusia menciptakan impian yang lebih besar, berusaha memperoleh kemajuan-kemajuan serta mencapai sukses. Elbert Hubbart pun menegaskan, “Nothing great has ever been accomplished without enthusiasm” (tidak ada satupun kemajuan menakjubkan untuk diraih tanpa antusiasme). Semangat dapat terus ditingkatkan dengan mengisi setiap detik waktu kita dengan kebiasaan-kebiasaan yang konstruktif. Kebiasaan-kebiasaan positif itu di antaranya mendengar, membaca, berbicara dan bergaul dengan orang yang positif.

Jika seseorang dapat mempertahankan dan meningkatkan semangat hidup dalam dirinya, maka sikapnya menjadi lebih terarah hingga dapat menikmati hal-hal yang benar-benar menakjubkan di dunia ini. Sikap yang benar-benar didasari oleh faktor-faktor spiritual, impian dan antusiasme yang kuat pada kenyataannya selalu positif. Sikap positif itu sendiri sangat mempengaruhi seseorang untuk dapat mengekplorasi seluruh potensi diri dan meraih kesuksesan maupun kebahagiaan. Sikap ternyata yang terpenting bagi kemajuan atau kebahagiaan Anda saat ini dan di masa-masa yang akan datang. Nah, bagaimana dengan sikap dan antusiasme Anda ?

Pandangan Alkitab tentang kebiasaan
”Jangan menjadi serupa dengan dunia ini tetapi berubahlah dengan pembaharuan budimu” (Roma 12:2)

Pada musim kemarau kita jumpai banyak daun berguguran dari pohonnya. Apa yang dapat kita pelajari dari ilustrasi di atas? Daun yang gugur dari pohonnya akan digantikan daun baru, sama halnya dengan hidup manusia yang jiwanya kering oleh perbuatan dosa.

Perbuatan dan kebiasaan dosa manusia telah menjerat hidup manusia sehingga manusia jauh dari Allah.
Hal yang penting Alkitab ajarkan buat orang-orang yang sudah menerima anugerah keselamatan adalah mesti berubah. Orang percaya tidak boleh lagi punya hidup yang sama seperti dunia tetapi mesti berubah.
Apa yang dikatakan, yang dipikirkan dan dilakukan harus berbeda dengan dunia, apa maksudnya? Apakah kita harus bikin yang aneh-aneh? Oh bukan, maksudnya kita harus hidup dalam kesucian, bukan dalam dosa (cara hidup dunia) seperti halnya daun gugur yang digantikan daun baru, kita mesti mau berubah dari sifat- sifat atau kebiasaan buruk.

Alkitab ajarkan bahwa perubahan dimulai dengan pembaharuan budi. Apa itu pembaharuan budi? Pembaharuan cara berpikir kita. Kita ini dididik sekian waktu oleh dunia, sebelum percaya Yesus dengan otomatis kita belajar cara hidup dunia, misalnya dunia mengajar siapa mau sukses mesti kerja keras, cara apapun boleh yang penting sukses, dunia juga ajarkan segala sesuatu mesti dinilai  dengan keuntungan yang diberikan, jika tidak ada untungnya buat kita untuk apa kita kerjakan?

Pembaruan cara berpikir bisa terjadi kalau kita mengisi pikiran kita dengan Firman Allah. Semakin banyak firman kita masukkan dalam pikiran kita semakin cepat kita mengalami pembaharuan budi.
Dan yang paling penting pembaharuan komitmen Anda untuk mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang membuat Anda jatuh dalam dosa.

Nah, tibalah kita pada kesimpulan
Lalu, bagaimanakah membangun kebiasaan dan karakter. Tanpa disadari kita membentuk kebiasaan kita pada setiap saat kehidupan kita. Beberapa di antaranya mungkin kebiasaan yang alami; beberapa yang lain adalah kebiasaan yang paling tidak kita sukai. Beberapa, meskipun tidak begitu parah awalnya, tapi akan menjadi amat buruk di kemudian hari, dan akan menyebabkan banyak kerugian, rasa sakit dan penderitaan,  Sementara kebiasaan yang sebaliknya, akan membawa banyak rasa damai, cinta dan sukacita.

Apakah kita, dengan sadar, akan  menentukan jenis kebiasaan apa yang akan mendominasi setiap sendi dalam kehidupan kita? Dengan kata lain, kita akan membentuk kebiasaan dan membangun karakter kita. Kebiasaan yang dilakukan baik dengan maupun tanpa sadar lambat laun akan mengakar dan membentuk karakter kita. Pertanyaannya, apakah kita telah memiliki control terhadap kebiasaan-kebiasaan kita tersebut, atau kebiasaan-kebiasaan kita itu yang telah-tanpa kita sadari-mengontrol kehidupan kita?

Pikiran kita adalah kekuatan yang melandasi semua. Artinya, ini: Setiap tindakan kita, lakukan dengan sadar, semuanya didasari oleh pikiran. Pikiran kita yang paling dominan menentukan tindakan kita yang paling utama. Dalam hal ini  kita tentunya memiliki kendali mutlak atas pikiran kita, atau kita bisa belajar mengendalikan kebiasaan kita dengan mulai mengendalikan pikiran-pikiran kita.

Ada beberapa hal penting, menurut hemat saya, yang perlu kita bangun dalam diri sendiri. Agar kita tetap konsisten dan kontiniu dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan untuk mencapai tujuan. Hal-hal itu adalah perlunya kita membangun habit (kebiasaan) yang positif (tentunya). Lebih baik mementingkan habit daripada motivasi (walaupun motivasi sangatlah penting).  Habit-lah yang menjaga keseimbangan diri untuk tetap mampu melakukan tugas-tugas mencapai tujuan. Sikap, watak, karakter, otomatis akan terbangun bila kita sudah memiliki habits. Selamat membangun karakter melalui habit, semoga Naposo Bulung HKBP Jl. Letjend. Suprapto kelak menjadi orang-orang yang sukses tanpa batas, dan ingatlah semuanya membutuhkan waktu, semuanya membutuhkan kesabaran. Setelah ini kita akan masuk kepada paparan tentang “Self Development”. Itulah yang dapat saya paparkan, mudah-mudahan berguna. Syaloom, Horas!!!
Di bawah ini, saya sertakan tips action untuk menerapkan ide di atas:
  1. Putuskan untuk ambil tanggung jawab penuh atas hidup anda… karena anda sendirilah satu-satunya… orang yang bertanggung jawab… atas kesuksesan dalam hidup anda… bukan lingkungan anda… bukan pula seorang motivator… dan bukan siapapun… melainkan diri anda sendiri… 
  2. Lakukan perencanaan yang detil secara rutin untuk menentukan arah dan tujuan dalam hidup anda. 
  3. Untuk mencapai sebuah sasaran/goal, anda bisa gunakan motivasi untuk mempermudah anda take action, tapi yang lebih penting, selalu tanyakan pada diri anda, “Untuk mencapai goal saya, kebiasaan baru apa yang harus saya munculkan? Dan kebiasaan lama apakah yang harus saya hilangkan?” Ubahlah kebiasaan bekerja anda dan bahkan jika perlu, ubahlah kebiasaan hidup anda untuk disesuaikan dengan sasaran atau goal anda… 
  4. Ketika memunculkan kebiasaan baru, nikmatilah kebiasaan tersebut… dengan fokus dan mencari… hal hal yang anda sukai dari kebiasaan tersebut. 
  5. Sesudah anda memutuskan untuk melakukan sesuatu, tentukan batas waktunya… dan lakukan saja tanpa dipikir lagi… Just Do It!!!. Analisa itu hanya anda butuhkan pada saat membuat rencana, ketika masalah muncul dan pada saat evaluasi. 
  6. Ketika anda mengerjakan sesuatu, berandai-andai dan lakukan dengan cara seolah-olah kegiatan tersebut adalah sebuah kebiasaan yang sudah lama anda lakukan. Lama kelamaan bawah sadar anda akan merespons dan membuatnya menjadi sebuah kebiasaan. 
  7. Kebiasaan itu muncul pada level pikiran bawah sadar, jadi anda bisa memprogram dan menanamkan sebuah kebiasaan baru dengan cepat.


sumber http://tumpalsimamora.wordpress.com/2009/07/21/habit-and-attitude/#comment-77